post by : kang nawa
Sujung 08 Oktober 2015
KEBIJAKAN PENDIDIKAN
OLEH
KHOLIS
YATI
NPM : 1402048
PROGRAM STUDI
MANAJEMEN PENDIDIKAN
PASCASARJANA UNIVERSITAS
SULTAN AGENG TIRTAYSA
Kata
Pengantar
Kebijakan adalah aturan tertulis yang merupakan
keputusan formal organisasi, yang bersifat mengikat, yang mengatur prilaku
dengan tujuan untuk menciptakan tata nilai baru dalam masyarakat. Kebijakan
akan menjadi rujukan utama para anggota organisasi atau anggota masyarakat
dalam berprilaku. Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving dan proaktif.
Berbeda dengan Hukum (Law) dan Peraturan (Regulation), kebijakan
lebih adaptif dan interpratatif, meskipun kebijakan juga mengatur “apa yang
boleh, dan apa yang tidak boleh”. Kebijakan juga diharapkan dapat bersifat umum
tetapi tanpa menghilangkan ciri lokal yang spesifik. Kebijakan harus memberi
peluang diinterpretasikan sesuai kondisi spesifik yang ada.
Serang, Mei 2015
Penulis.
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Pendidikan
dalam masyarakat modern dewasa ini, seperti Indonesia telah menjadi wacana
public. Tidak demikan halnya dengan masyarakat yang sederhana atau masih
tradisional. Pendidikan informal dan nonformal merupakana bagian dari hidup
keseharian masyarakat. Pendidikan di dalam bentuknya yang sederhana telah merupakan
bagian dari struktur kehidupan masyarakat.
Perbaikan kualitas pendidikan dewasa ini dirasakan semakin
mendesak, hal ini disebabkan karena
tuntutan perbaikan kualitas pendidikan semakin dibutuhkan masyarakat.
Makalah ini ditulis untuk
menggambarkan berbagai persoalan permasalahan pendidikan yang ada diIndonesia.
Salah satu komponen pendidikan yang ditengarai memiliki pengaruh signifikan
terhadap kualitas pendidikan adalah tersedianya pendidik yang profesional.
Dalam dunia pendidikan guru menduduki posisi tertinggi dalam hal penyampaian
informasi danpengembangan karakter mengingat guru melakukan interaksi langsung
dengan pesertadidik secara langsung melalui pembelajaran di ruang kelas.
Disinilah kualitas pendidikan terbentuk yakni kualitas pembelajaran.
Pemerintah menempatkan pendidikan sebagai
program yang sangat strategis dalam pembangunan nasional. Hal ini tercantum
dalam Undang-Undang Dasar 1945yang mengamanatkan bahwa pemerintah dalam
menyelenggarakan satu system pendidikan nasional untuk meningkatkan keimanan
dan ketakwaan kepada TuhanYang
Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.Sistem
pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan serta
peningkatan mutu, relevansi, dan efisiensi manajemen pendidikan dalam rangka menghadapi tantangan perubahan
kehidupan lokal, nasional, dan global.
2.
Identifikasi
Masalah
Permasalahan
pendidikan di Indonesia memang sangat kompleks. Selain angka putus sekolah, kita juga menghadapi berbagai
masalah utama yakni kualitas dan rendahnya komitmen mengajar guru, kualitas kurikulum yang belum
standar, dan kualitas infrastruktur yang belum memadai. Dalam dunia pendidikan
guru menduduki posisi tertinggi dalam hal
penyampaian informasi dan pengembangan karakter mengingat guru melakukan
interaksi langsung dengan peserta didik dalam pembelajaran di ruang kelas.
Disinilah kualitas pendidikan terbentuk dimana kualitas pembelajaran yang
dilaksanakan oleh guru ditentukan oleh kualitas guru yang bersangkutan.
Sementara itu kurikulum pendidikan di Indonesia juga menjadi masalahyang harus diperbaiki. Timbulnya anggapan bahwa
setiap ganti menteri ganti lagikurikulum menjadi indikasi bahwa
permasalahan kurikulum masih menjadi persoalanserius.
Kelihatannya para pengambil kebijakan belum memahami arti pentingnya kurikulum
dalam pendidikan. Hal ini terlihat dari belum adanya kurikulum standar yangmenjadi pedoman sesungguhnya dalam
penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Belum usai persoalan kualitas guru dan
perubahan kurikulum yang insidental, masalah infrastruktur pendidikan
juga masih menjadi persoalan serius bagi pendidikandi Indonesia. Disparitas
sarana dan prasarana pedidikan sangat jelas terlihat, antara wilayah barat dan timur, jawa dan luar jawa,
sekolah negeri dan swasta, dan
sebagainya.
3.
Rumusan Masalah
a. Apakah
penyebab masalah pendidikan bila dilihat dari proses kebijakan ?
b.
Dari mana harus dimulai memperbaiki
Permasalahan pendidikan tersebut?
c.
Apakah untuk menyelesaikan suatu masalah itu
harus dibuat kebijakan sebanyak-banyaknya?,
d.
Jika kita sebagai pembuat kebijakan mana yang
penting pengetahuan tentang
kebijakan atau pengetahuan mengenai kebijakan ?
e.
Bila anda berpendapat kebijakan itu dipandang
sebagai sebuah proses, jelaskanlah proses tersebut dan bagaimana
keterkaitannya satu denganyang lain.
4.
Tujuan
Permasalahan
a.
Untuk
Mengetahui Apakah penyebab masalah pendidikan bila dilihat dari proses
kebijakan
b.
Untuk Mengetahui Dari mana harus dimulai
memperbaiki suatu masalah pendidikan
c.
Untuk Mengetahui Jika kita sebagai pembuat
kebijakan mana yang penting pengetahuan tentang
kebijakan atau pengetahuan mengenai kebijakan
d.
Untuk Mengetahui Bila anda berpendapat
kebijakan itu dipandang sebagai sebuah proses, jelaskanlah proses tersebut
dan bagaimana keterkaitannya satu denganyang lain.
BAB II
PEMBAHASAN
PENYEBAB
MASALAH PENDIDIKAN DILIHAT DARI PROSES KEBIJAKAN
1. Penyebab Maslah Pendidikan
Salah satu Penyebab
masalah pendidikan dilihat dari proses kebijakan adalah Rendahnya Kualitas
Pendidikan di Indonesia yang disebabkan oleh :
1. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya.
1. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya.
2. Efisiensi
Pengajaran di Indonesia
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia.
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia.
Jika kita
berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya
sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain
yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti
buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai
ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Selain masalah mahalnya biaya pendidikan
di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Dengan survey lapangan,
dapat kita lihat bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama
jika dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya,
ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan
diakhiri sampai pukul 16.00. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika
kami amati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang
menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga
pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Dalam
beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum
1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses
pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya
Seperti KTSP dan yang terbaru lagi Kurikulum 2013. Ketika mengganti kurikulum,
kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan
terlebih dahulu yang juga menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat
disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kurang
efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif.
Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal.
Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal.
3.
Standardisasi Pendidikan di Indonesia
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil.
Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standar kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun.
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil.
Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standar kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun.
4. Rendahnya
Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
5. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri.
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
5. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri.
6. Rendahnya
Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
7. Rendahnya
Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat
8. Kurangnya
Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
9. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri.
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
9. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri.
2.
Proses Penyelesaian Masalah –
Masalah Pendidikan
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya. Apakah untuk menyelesaikan suatu masalah itu harus dibuat kebijakan sebanyak-banyaknya, tentu tidak, kita hanya perlu focus terhadap permasalahan itu dengan kebijakan – kebijakan yang sudah dibuat oleh pemerintah seperti halnya di utarakan diatas.
Sebagai pemangku kebijakan dalam hal ini
tentunya yang mendalami dan mengetahui mengenai kebijakan – kebijakan
pendidikan dan diharapkan lebih bertanggung jawab atas kebijakan tersebut
sehingga akan melahirkan pendidikan yang diharapkan sesuai yang dicita-citakan
oleh bangsa Indonesia.
3. Kebijakan Dipandang Sebagai Suatu Proses
Kebijakan diperoleh melalui suatu proses
pembuatan kebijakan. Pembuatan kebijakan (policy making) adalah terlihat
sebagai sejumlah proses dari semua bagian dan berhubungan kepada sistem sosial
dalam membuat sasaran sistem. Proses pembuatan keputusan memperhatikan faktor
lingkungan eksternal, input (masukan), proses (transformasi), output
(keluaran), dan feedback (umpan balik) dari lingkungan kepada
pembuat kebijakan. Sedangkan
Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara orang tua, masyarakat dan
pemerintah. Dengan dasar kata – kata bijak itu, maka perbaikan kualitas
pendidikan di Indonesia menjadi beban bersama orang tua, Masyarakat dan
pemerintah. Dalam Undang – undang no 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikam
nasional disrbutkan beberapa peran yang dapat dilakukan oleh masyarakat,
pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pendidikan.Berdasarkan penegasan di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan
pendidikan dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan
dalam pendidikan atau organisasi atau sekolah dengan masyarakat dan pemerintah
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, kebijakan
merupakan garis umum untuk bertindak bagi pengambilan keputusan pada semua
jenjang pendidikan atau organisasi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bahwa kebijakan dibuat untuk menjadi pedoman
dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam organisasi pendidikan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Proses implementasi kebijakan hanya dapat
dimulai apabila tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang semula bersifat umum
telah dirinci, program-program aksi telah dirancang dan sejumlah dana/biaya
telah dialokasikan untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran tersebut.
peningkatan mutu pendidikan.
B. SARAN
Evaluasi kebijakan pendidikan masih belum terformat secara jelas maka di
lapangan masih timbul bermacam-macam metode dan cara dalam melaksanakan program.
DAFTAR PUSTAKA
Imron , Ali. 1995. Kebijakan Pendiikan
Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara
Koesoemahatmadja. 1979. Pengantar ke Arah
Sistem Pemerintahan di Daerah di Indonesia. Bandung : Binacipta
Muhdi, Ali. 2007. Konfigurasi Politik
Pendidikan Nasional. Yogyakarta. Pustaka Fahima.
Syafaruddin. 2008. Efektivitas Kebijakan Pendidikan.
Jakarta. Rineka Cipta
Wayong J. 1979. Asas dan Tujuan Pemerintahan
Daerah. Jakarta:Penerbit Djambatan
Tilaar, Rian Nugroho. 2009. Kebijakan
Pendidikan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar